Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya “baik”, dan
θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan
kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak
menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal,
biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan
seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun
ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara,
eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap
melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan
prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi
menjadi tiga kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non agresif,
dan eutanasia pasif.
1. Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu
tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan
lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien.
Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang
mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh
senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
2. Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis
(autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi
dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk
menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan
secara resmi dengan membuat sebuah “codicil” (pernyataan tertulis
tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik
eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
3. Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia
negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif
untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan
dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang
hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam
pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia
berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit
seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian.
Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh
kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun
pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat
keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya
pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin
membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit
untuk membuat “pernyataan pulang paksa”. Meskipun akhirnya meninggal,
pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.
Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
1. Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang
bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan
eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
2. Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang
seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan
yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang
tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan
misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada
kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab
beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi
si pasien.
3. Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien
sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.
Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
1. Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
2. Eutanasia hewan
3. Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela
Asal-usul kata eutanasia
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu “eu” (= baik) and
“thanatos” (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti “kematian
yang baik”. Hippokrates pertama kali menggunakan istilah “eutanasia” ini
pada “sumpah Hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau
memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan
untuk itu”.
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga
saat “bunuh diri” ataupun “membantu pelaksanaan bunuh diri” tidak
diperbolehkan.
Eutanasia dalam dunia modern
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan
pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828
undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New
York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa
negara bagian.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela.
Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada
tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya
pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk
melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss
sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan
daripadanya.
Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari
pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat
yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk
“pembunuhan berdasarkan belas kasihan”.
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan
kontroversial dalam suatu “program” eutanasia terhadap anak-anak di
bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh,
ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna.
Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 (“Action T4″) yang kelak
diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo
/ lansia.
Eutanasia pada masa setelah perang dunia
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan
eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan
terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang
dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat
genetika.
Praktik-praktik eutanasia di dunia
Praktik-praktik eutanasia pernah yang dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat:
1. Di India pernah dipraktikkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
2. Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya.
3. Uruguay mencantumkan kebebasan praktik eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
4. Di beberapa negara Eropa, praktik eutanasia bukan lagi kejahatan
kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan
khusus.
5. Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian, eutanasia
dikategorikan sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya
dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
6. Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para
anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan
persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada
beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktik
medis, biasanya tidak pernah dilakukan eutanasia aktif, namun mungkin
ada praktik-praktik medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.
Eutanasia menurut hukum diberbagai negara
Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia
serta ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss
dan dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol,
Jerman dan Denmark
Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang
mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku
sejak tanggal 1 April 2002 [6], yang menjadikan Belanda menjadi negara
pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang
mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk
mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara
formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai
perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul “The Slippery Slope of Dutch Euthanasia” dalam
majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998,
halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan
asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur
tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus
seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50
pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para
dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan.
Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada
tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi
oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan
eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama
di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri
berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995
Northern Territory menerima UU yang disebut “Right of the terminally ill
bill” (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa
kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan
Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.
Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir
September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan
tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak
dilegalisasikannya tindakan eutanasia di negara ini, namun mereka juga
mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul
suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan “birokrasi kematian”.
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu
penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang
pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan
orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan
penentuan saat-saat akhir hidupnya.
Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di
Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya
secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin
lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang
pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia
dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with
Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri
berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat,
dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan
untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam
bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana
dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan
sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak
boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan
bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan
gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien
untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap
asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun
kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa
depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara
bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern
Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang
pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll)
menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasia.
Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu
perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan
perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana yang menyatakan bahwa “Barang siapa menghilangkan nyawa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan
nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”.
Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345,
dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam
perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku
di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa
pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal
Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5
Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau “pembunuhan tanpa
penderitaan” hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma
yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. “Euthanasia hingga saat ini
tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum
positif yang masih berlaku yakni KUHP.
Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga
negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya
sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942,
yang pada intinya menyatakan bahwa “membantu suatu pelaksanaan bunuh
diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya
semata untuk kepentingan diri sendiri.”
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk
melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk
mengakhiri kehidupan seseorang.
Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania
Raya (Britain’s Royal College of Obstetricians and Gynaecologists)
mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield
Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan
eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns).
Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di
Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama
dari sisi faktor “kemungkinan hidup si bayi” sebagai suatu legitimasi
praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan
hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada
Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British
Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam
bentuk apapun juga.
Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang
eutanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of
Japan) tidak pernah mengatur mengenai eutanasia tersebut.
Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada
tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai “eutanasia pasif” (消極的安楽死,
shōkyokuteki anrakushi)
Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai
university pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai “eutanasia aktif ”
(積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi)
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu
kerangka hukum dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif
dan pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang
dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan
melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan dianggap bersalah
oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan
pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan
tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi,
namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum
sementara guna melaksanakan eutanasia.
Republik Ceko
Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan
pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia
dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya
pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk
memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu
kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan
Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut
merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari
rancangan tersebut.
India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan
mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan
dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India
(Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut
dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas
kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang
hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah
diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien
sendirilah yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu
pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus
eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun
eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan
pasal 92 IPC.
China
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum.
Eutansia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana
seorang yang bernama “Wang Mingcheng” meminta seorang dokter untuk
melakukan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi
menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6
tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People’s Court)
menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng
menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk
disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas
dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia
meninggal dunia dalam kesakitan.
Afrika Selatan
Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas
mengatur tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku
eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang ada.
Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang
eutanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum
(yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan “Kasus rumah sakit Boramae”
dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya
penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver
cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas
perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa
dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini
tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti
kata eutanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa ” pada kasus tertentu dari
penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan
eutanasia pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta
penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.
Eutanasia menurut ajaran agama
Dalam ajaran gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk
memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka
yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral
gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII,
yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan
eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya
sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan
secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5
Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan
Dekalarasi tentang eutanasia (“Declaratio de euthanasia”) yang
menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin
meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya
promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus
Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek
eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64
yang memperingatkan kita agar melawan “gejala yang paling
mengkhawatirkan dari `budaya kematian’ dimana jumlah orang-orang lanjut
usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu.”
Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan
tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: “Belas
kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama.
Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat
kita tanggung” (Evangelium Vitae, nomor 66)
Dalam ajaran agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa.
Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak
dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin
dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus
dari “karma” yang buruk adalah menjadi penghalang “moksa” yaitu suatu
ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama
dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip “anti kekerasan” atau pantang menyakiti siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu
dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor
yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan “karma”
buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat
berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh
diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap
berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga
ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan
: misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia
ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana
tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima
hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam
kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma” nya
terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.
Dalam ajaran agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan
dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah
merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal
tersebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu
perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain
daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada “welas asih”
(“karuna”)
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan
pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian
dapat menjadi “karma” negatif kepada siapapun yang terlibat dalam
pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
Dalam ajaran Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam
mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut
merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat
menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243).
Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak
ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang
bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal
tersebut, “Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.” (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, “Janganlah engkau
membunuh dirimu sendiri,” (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah
“Janganlah kamu saling berbunuhan.” Dengan demikian, seorang Muslim
(dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan
dengan membunuh dirinya sendiri.
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut
(eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun
negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981,
dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya
eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
dalam alasan apapun juga.
Eutanasia positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa’al (eutanasia positif) ialah tindakan
memudahkan kematian si sakit—karena kasih sayang—yang dilakukan oleh
dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak
diperkenankan oleh syara’. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter
melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan
mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini
termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang
membinasakan.
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan
meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk
meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih
pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta’ala, karena Dia-lah yang
memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba
ajal yang telah ditetapkan-Nya.
Eutanasia negatif
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa’il. Pada
eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah
aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan
tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan
pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan
sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara’ ialah
bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut
jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati
atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya
segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh
sahabat-sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya
mustahab (sunnah).
Dalam ajaran gereja Ortodoks
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang
beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga
kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah,
pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga
kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan
gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol
pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks
memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan
oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.
Dalam ajaran agama Yahudi
Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan
menggolongkannya kedalam “pembunuhan”. Hidup seseorang bukanlah miliknya
lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai
pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun,
sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas kasihan),
adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap
kewenangan Tuhan.
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam
alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :” Tetapi mengenai darah
kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang
Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa
sesama manusia”. Pengarang buku : HaKtav v’haKaballah menjelaskan bahwa
ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
Dalam ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki
pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan
orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya : Gereja
Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa
: ” penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan
pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung
jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut
benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas
akhir kesempatan hidup tersebut”.
Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi
sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan
fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia
dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau
dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang
unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka
percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan
menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa
apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti
suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu
racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas
pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam
menanggapi masalah “bunuh diri” dan “pembunuhan berdasarkan belas
kasihan (mercy killing) adalah dari sudut “kekudusan kehidupan” sebagai
suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah
bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
Beberapa kasus menarik
Kasus Hasan Kusuma – Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004
telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak
tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun,
tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu ketidakmampuan untuk
menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan
untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di
luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka
kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam
pemulihan kesehatannya.
Kasus seorang wanita New Jersey – Amerika Serikat
Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat,
pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan
alat bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian
alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan.Oleh karena tidak tega
melihat penderitaan sang anak, maka orangtuanya meminta agar dokter
menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan
ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama
permohonan orangtua pasien ditolak, namun pada pengadilan banding
permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan pada tanggal 31
Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut, pasien
dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru
sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut
meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).
Kasus Terri Schiavo
Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida,
13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa
makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma
ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh di
rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan
gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri
dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia
mengalami kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut
kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan
unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian
dituduh malapraktek dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena
dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada
pasiennya.
Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka
pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan
permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa
dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun orang tua
Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan
menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut. Dua
kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi
sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang
lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh
dilepaskan, maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya
guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang
memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim
tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan
Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush.
Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah
independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan
keputusan hakim terdahulu.
Kasus “Doctor Death”
Dr. Jack Kevorkian dijuluki “Doctor Death”, seperti dilaporkan Lori A.
Roscoe. Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale, California
diduga puluhan pasien telah “ditolong” oleh Kevorkian untuk mengakhiri
hidup. Kevorkian berargumen apa yang dilakukannya semata demi “menolong”
pasien-pasiennya. Namun, para penentangnya menyebut apa yang
dilakukannya adalah pembunuhan.
Kasus rumah sakit Boramae – Korea
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang
terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati. Tiga bulan setelah dirawat,
seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu
pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada
Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk
memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan
melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan
bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat
bantu pernapasan tersebut. Satu minggu sebelum meninggalnya, si pasien
amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium
akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun,
kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama 24 jam saja.
Tulisannya silo jadi kagak kebaca
BalasHapusApa kira-kira ciri-ciri orang yang mati di sebabkan praktek eutanasia..?
BalasHapus